Dalam mahzab ekonomi neo-klasik, larangan atau pembatasan impor,
serta berbagai hambatan perdagangan lainnya adalah barang tabu. Langkah
seperti ini dipandang hanya menimbulkan distorsi pasar dan inefisiensi,
serta menekan kesejahteraan rakyat.
Syukurlah, dunia berputar tidak mengikuti impian sempit para ekonom neo-klasik. Banyak sekali contoh barang tabu neo-klasik yang justru membuat perekonomian lebih berdaya saing. Salah satu contohnya adalah Korea Selatan (Korsel).
Tahun 1967 Korsel bermaksud membangun industri baja terpadu Pohang dan komplek petrokimia Wusan. Bank Dunia melalui International Bank for Reconstruction and Development (IBRD) tegas menolak. Proyek tersebut dianggap hanya menguras devisa dan tidak sesuai dengan keunggulan komparatif Korsel. Bahkan, Presiden IBRD Eugene Black, mengkritik habis negara berkembang yang ingin membangun pabrik baja terpadu.
Presiden Park Chung Hee, didukung Menperindag Chung-yum Kim, menolak tekanan IBRD. Dengan visi yang jauh ke depan, kedua proyek tersebut dibangun dan beroperasi secara efisien. Hasilnya, keduanya menjadi pilar daya saing yang mengantar Korsel sebagai negara industri baru.
Saat krisis ekonomi Asia 1997-98, Korsel juga diminta IMF menutup industri microchip karena dianggap distortif. Lagi-lagi resep neo-klasik ini ditolak. Terbukti, industri microchip menjadi salah satu gerbong ekspor yang menarik Korsel keluar dari krisis.
Malaysia pun demikian, bahkan tegas menolak IMF. Hasilnya, Malaysia mampu berbelanja aset murah dari Indonesia. Sementara Indonesia yang setia mengikuti resep neo-klasik, sibuk menjual murah asetnya.
Sekarang, entah ada kaitannya dengan Pemilu atau tidak, pemerintah Indonesia mulai mengambil kebijakan ekonomi non-neoklasik. Salah satunya berupa larangan atau pembatasan impor beberapa produk agribisnis seperti beras, gula, daging sapi hingga garam. Di sini sengaja saya pakai istilah agribisnis, bukan pertanian, karena melibatkan produk pertanian dan pangan, ditambah industri hulu dan hilirnya.
Sebagai ekonom yang sejak lama mengkritisi liberalisasi a la Bank Dunia dan IMF, seharusnya saya menyambut baik kebijakan tersebut. Namun setelah membandingkan dengan Korsel dan Malaysia, saya sangsi, apakah pemerintah memang berniat melindungi petani dan produsen agribisnis lokal.
Syukurlah, dunia berputar tidak mengikuti impian sempit para ekonom neo-klasik. Banyak sekali contoh barang tabu neo-klasik yang justru membuat perekonomian lebih berdaya saing. Salah satu contohnya adalah Korea Selatan (Korsel).
Tahun 1967 Korsel bermaksud membangun industri baja terpadu Pohang dan komplek petrokimia Wusan. Bank Dunia melalui International Bank for Reconstruction and Development (IBRD) tegas menolak. Proyek tersebut dianggap hanya menguras devisa dan tidak sesuai dengan keunggulan komparatif Korsel. Bahkan, Presiden IBRD Eugene Black, mengkritik habis negara berkembang yang ingin membangun pabrik baja terpadu.
Presiden Park Chung Hee, didukung Menperindag Chung-yum Kim, menolak tekanan IBRD. Dengan visi yang jauh ke depan, kedua proyek tersebut dibangun dan beroperasi secara efisien. Hasilnya, keduanya menjadi pilar daya saing yang mengantar Korsel sebagai negara industri baru.
Saat krisis ekonomi Asia 1997-98, Korsel juga diminta IMF menutup industri microchip karena dianggap distortif. Lagi-lagi resep neo-klasik ini ditolak. Terbukti, industri microchip menjadi salah satu gerbong ekspor yang menarik Korsel keluar dari krisis.
Malaysia pun demikian, bahkan tegas menolak IMF. Hasilnya, Malaysia mampu berbelanja aset murah dari Indonesia. Sementara Indonesia yang setia mengikuti resep neo-klasik, sibuk menjual murah asetnya.
Sekarang, entah ada kaitannya dengan Pemilu atau tidak, pemerintah Indonesia mulai mengambil kebijakan ekonomi non-neoklasik. Salah satunya berupa larangan atau pembatasan impor beberapa produk agribisnis seperti beras, gula, daging sapi hingga garam. Di sini sengaja saya pakai istilah agribisnis, bukan pertanian, karena melibatkan produk pertanian dan pangan, ditambah industri hulu dan hilirnya.
Sebagai ekonom yang sejak lama mengkritisi liberalisasi a la Bank Dunia dan IMF, seharusnya saya menyambut baik kebijakan tersebut. Namun setelah membandingkan dengan Korsel dan Malaysia, saya sangsi, apakah pemerintah memang berniat melindungi petani dan produsen agribisnis lokal.
Kadang Pintar - Profile | Kadang Pintar
BalasPadamKadang Pintar. View Kadang Pintar kadangpintar profile, contacts, revenue, employees, website. deccasino Kadang Pintar septcasino provides information for companies,